Sumber : http://p2aph.wordpress.com/2010/01/22/uji-berbagai-media-tumbuh-dalam-pengembangan-massal-aph-golongan-jamur/
- I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pengendalian Orgenisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) dengan
mengedepankan prinsip ramah lingkungan dan tidak mengganggu keseimbangan
alam menuntut tanggungjawab yang besar dari para pelaku perlindungan
perkebunan. Penerapan PHT dengan memadukan berbagai cara pengendalian
yang kompatibel merupakan langkah yang tepat untuk mengendalikan OPT.
Penerapan PHT tersebut antara lain dengan memanfaatkan penggunaan Agens
Pengendali Hayati untuk pengendalian OPT.
Dalam perkembangannya ada dua macam teknologi untuk pengembangan
agens pengendali hayati jenis jamur yaitu media cair dan media padat.
Pengembangan media cair menggunakan media ekstrak kentang gula dan media
padat menggunakan media jagung.
Pemanfaatan bekatul telah diujikan dalam media padat jagung giling untuk perbanyakan massal agensia
Metarhizium anisopliae dan
Beauveria bassiana,
akan tetapi belum didapatkan hasil yang memuaskan, oleh karena itu
diperlukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui media yang tepat
dengan harga yang murah akan tetapi tidak mengurangi kualitas dari
agensia tersebut.
Pemanfaatan kulit kakao dan kulit kopi sebagai media alternative perbanyakan massal jamur
Metarhizium dan
Beauveria
perlu dipertimbangkan, mengingat limbah tersebut melimpah. kulit buah
kakao (KBK) merupakan limbah utama dari pengolahan coklat yang mencakup
sekitar 70% dari keseluruhan buah, mengandung air sekitar 84%, serat
kasar 27%, dan protein 8% (Purnama,2004)
1.2.Tujuan
- Mengetahui beberapa media alternatif untuk perbanyakan massal agensia pengendali hayati.
- Mendapatkan media yang terbaik untuk perbanyakan agens pengendali hayati tanpa mengurangi kualitas agens hayati tersebut.
1.3.Sasaran
Mendapatkan media alternatif yang tepat dan murah
untuk perbanyakan massal agensia hayati namun tidak mengurangi mutu dan
kualitas agensia pengendali hayati tersebut.
1.4. Waktu pelaksanaan
Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September 2007.
1.5. Lokasi kegiatan
Lokasi kegiatan dilaksanakan di laboratorium Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Jawa Timur.
1.6. Sumber dana
Kegiatan ini didanai APBN Satker BPTP Jatim Tahun Anggaran 2007.
1.7. Pelaksana kegiatan
Pelaksana kegiatan : 1. Vikayanti, S.Si.
2. Umiati, SP.
- Dina Ernawati, SP.
- Cahyo Artho N, Amd.
- Gris Anjasanta
- Ruri Febrianti.
- Djoko Nugroho
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Metarhizium anisopliae
Taksonomi dan morfologi
Kingdom : Fungi
Divisi : Eumycota
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Moniliales
Famili : Moniliaceae
Genus :
Metarhizium anisopliae (Ainsworth, 1973)
Morfologi dari
Metarhizium yang telah banyak diketahui yaitu
konidiofor tumbuh tegak, spora berbentuk silinder atau lonjong dengan
panjang 6-16 mm, warna hialin, bersel satu, massa spora berwarna hijau
zaitun.
Metarhizium sp. tumbuh pada pH 3,3-8,5 dan memerlukan
kelembaban tinggi. Radiasi sinar matahari dapat menyebabkan kerusakan
pada spora. Suhu optimum bagi pertumbuhan dan perkembangan spora
berkisar pada 25-30
oC.
Metarhizium mempunyai miselia yang bersepta, dengan konidia yang berbentuk lonjong.
Metarhizium anisopliae
bersifat saprofit pada media buatan, awal mula pertumbuahannya adalah
tumbuhnya konidium yang membengkak dan mengeluarkan tabung-tabung
kecambah (Anonymous,1999).
Gambar 1.Isolat murni Metarhizium anisopliae
Tabung kecambah tersebut memanjang dan memanjang selama 30 jam.
Beberapa cabang tersebut membesar kearah atas membentuk konidiofor yang
pendek, bercabang, berdekatan dan saling melilit. Konidia terbentuk
setelah satu minggu pertumbuhan, mula-mula berwarna putih kemudian
berangsur menjadi hijau apabila telah masak. Pembentukan konidia
terdiri dari kuncup dan tunas yang memanjang pada kedua sisi konidiofor
tersebut. Umumnya sebuah rantai konidia bersatu membentuk sebuah kerak
dalam media (Gabriel dan Riyatno, 1989).
Gambar 2. Konidia Metarhizium anisopliae
Spesias pertama genus
Metarhizium (Subdivision Deteromycotina; Class Hyphomycetes; Order Moniliales).
Metarhizium anisopliae, diisolasi dari serangga Coleoptera spesies
Anisopliae austriacaI oleh Metchnikoff pada tahun 1878.
Metarhizium
spp. biasanya ada dimana-mana di seluruh dunia dalam fase yang
berbeda-beda, yaitu diantara fase saprofit tanah dan fase patogen pada
serangga.
Metarhizium spp. (termasuk
M. anisopliae,
M. flavoviride,
M. album dan
M. brunneum) secara umum mempunyai sasaran inang yang luas.
Gambar 3. Perkecambahan
Metarhizium anisopliae
Dibawah kondisi alami,
Metarhizium spp. menghasilkan dua jenis spora.
Aerial conidia
yang dihasilkan pada phialid-phialid selama fase saprofitik atau pada
inang yang telah mati, dan didefinisikan sebagai spora-spora aseksual
yang dihasilkan pada sporogenous dan hifa khusus yang dikenal sebagai
phialid. Tipe spora yang kedua adalah spora yang dihasilkan di
hemolymph serangga yang biasanya disebut “blastospora”(Taborsky,1992).
2.2. Taksonomi dan Morfologi Beauveria bassiana
Kingdom : Fungi
Divisi : Deuteromycotina
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Moniliales
Famili : Moniliaceae
Genus :
Beauveria
Spesies :
Beauveria bassiana (Alexopoulos and Mims, 1979).
Beauveria bassiana memiliki spora berbentuk bulat, bersel satu, hialin, dan berbentuk secara tunggal pada sterigma yang pendek. Konidium
B.
bassiana
dihasilkan secara aseksual, konidium ini terbentuk pada ujung dan
sisi-sisi konidiofor, dan melekat pada sterigma yang pendek. Konidium
terbentuk secara soliter, pertumbuhannya mengikuti pola berselang
seling, sehingga setelah konidium masak dan terlepas dari konidiofornya
nampak berbentuk zig-zag (Suharto
et.
al., 1998)
Gambar 3. Morfologi
Beauveria bassiana
Perkecambahan konidium menghendaki atmosfer yang jenuh dan temperatur optimal untuk pertumbuhannya berkisar antara 25 – 30
0C, minimum 10
0C dan maksimal 32
0C, tergantung pada geografi asli dari isolat. Perkecambahan tidak
terjadi di bawah 10
0C atau di atas 35
0C. Titik temperatur kematian konidium diketahui pada 50
0C selama 10 menit di air. pH optimal untuk pertumbuhannya adalah 5,7-5,9 dan untuk pembentukan konidium 7-8 (Domsch
et.
al., 1993).
B.
bassiana mengadakan penetrasi ke dalam tubuh
serangga melalui kulit di antara ruas-ruas tubuh. Mekanisme penetrasinya
dimulai dengan pertumbuhan spora pada kutikula, selanjutnya hifa jamur
mengeluarkan enzim kitinase, lipase, dan proteinase yang mampu
menguraikan kutikula serangga. Di dalam tubuh serangga, hifa
B.
bassiana juga
menhasilkan beberapa toksin seperti beauverisin, bassianolit, isorolit,
dan asam oksalat yang mekanisme kerjanya menyebabkan terjadinya
kenaikan pH hemolymph, penggumpalan hemolymph, dan terhentinya peredaran
hemolymph (Robert, 1981).
2.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Dan Perkembangan
Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana
- Suhu Dan Kelembaban
Pertumbuhan dan perkembangan
Metarhizium anisopliae sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan antara lain suhu, sinar matahari, pH dan kelembaban (Soenardi, 1978).
Suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi pertumbuhan jamur
Metarhizium terutama untuk pertumbuhan dan perkecambahan konidia serta patogenesitasnya. Batasan suhu untuk pertumbuhan jamur antara 5-35
oC, pertumbuhan optimal terjadi pada suhu 23-25
oC. Konidia akan tumbuh dengan baik dan maksimum pada kelembaban 80-92 persen (Burges dan Hussey, 1971).
- Sinar Matahari
Perkembangan konidia jamur
M. anisopliae dapat terhambat
apabila terkena sinar matahari secara langsung. Konidia tidak akan
mampu berkecambah apabila terkena sinar matahari langsung selama satu
minggu, sedangkan konidia yang terlindung dari sinar matahari mempunyai
viabilitas yang tinggi meskipun disimpan lebih dari tiga minggu (Storey
dan Garner, 1988). Pada suhu 8
oC konidia yang disimpan pada
kondisi gelap selama 3-5 hari masih mampu berkecambah 90%, sedangkan
pada keadaan terang hanya 50% (Clerk dan Madelin
dalam Wiryadiputra, 1985).
- Derajat Keasaman (pH)
Dalam beberapa penelitian pH media berpengaruh tehadap pertumbuhan jamur
Metarhizium. Tingkat pH yang sesuai berkisar antara 3,3-8,5, sedangkan pertumbuhan optimal terjadi pada pH 6,5 (Burges, 1981).
2.4.Kebutuhan Nutrisi Jamur Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana
Ferron (1981) berpendapat bahwa sumber nutrisi dapat berpengaruh pada
pertumbuhan jamur entomopatogen. Inglod (1962) menyebutkan bahwa media
jamur harus mengandung subtansi organik sebagai sumber C, sumber N, ion
anorganik dalam jumlah yang cukup sebagai pemasok pertumbuhan dan sumber
vitamin. M
etarhizium anisopliae juga memerlukan karbohidrat
sebagai sumber karbon dalam pertumbuhannya. Sejumlah penelitian menurut
(Bilgrami dan Verma (1981) menunjukkan bahwa penggunaan karbohidrat
tinggi mendorong pertumbuhan vegetatif jamur.
Pembentukan konidia jamur dipengaruhi oleh kandungan protein dalam
media. Protein diperlukan untuk pembentukan organel yang berperan dalam
pembentukan apikal hifa dan sintesis enzim yang diperlukan selama
proses tersebut dan enzim juga berperan dalam aktivitas perkecambahan
dan protein yang diserap dalam bentuk asam amino (Garraway dan Evans,
1984).
Jamur entomopatogen membutuhkan oksigen, air dan sumber organik
karbon dan energi. Sumber nitrogen baik organik maupun anorganik dan
bahan tambahan lain berupa mineral maupun pemacu tumbuh juga
diperlukan. Sumber karbon yang biasa digunakan sebagai media adalah
dekstrose namun dapat diganti dengan polisakarida seperti tajin atau
lipid. Nitrogen dapat disediakan dalam bentuk nitrat, amonia atau bahan
organik seperti asam amino atau protein. Makronutrisi penting yang
lain adalah phospor (dalam bentuk phospat), potassium, magnesium dan
sulfur ( yang disediakan dalam bentuk sulfat maupun dalam bentuk
organik, cystein atau methionine). Mikronutrisi penting yang dibutuhkan
oleh kebanyakan jamur entomopatogen adalah kalsium, besi, tembaga,
mangan, molybdenum, zinc dan vitamin B komplek, khususnya biothine dan
thiamine. Semua mikronutrisi ini biasanya terdapat dalam bahan mentah,
akan tetapi dapat dipenuhi dalam bentuk protein hidrolisat atau ekstrak
yeast (Taborsky, 1992).
2.5. Tinjauan media yang digunakan
Jamur adalah mikroorganisme heterotrof karena tidak memiliki
kemampuan untuk mengoksidasi senyawa karbon anorganik, atau senyawa
karbon yan memiliki satu karbon. Senyawa karbon organik yang dapat
dimanfaatkan fungi untuk membuat materi sel baru berkisar dari molekul
sederhana seperti gula sederhana dan asam organik, hingga kepada senyawa
kompleks seperti karbohidrat, protein, lipid, dan asam nukleat
(Rhoosheroe dan Sjamsuridzal, 2006). Kentang, beras, dan jagung
merupakan bahan makanan yang mengandung karbohidrat dan mudah ditemukan
di Indonesia, selain itu harganya pun juga murah.
- a. Jagung
Jagung merupakan salah satu tanaman pangan dunia
yang terpenting, selain gandum dan padi, yaitu sebagai sumber
karbohidrat. Biji jagung kaya akan karbohidrat. Sebagian besar berada
pada endospermium. Kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh
bahan kering biji. Karbohidrat dalam bentuk pati umumnya berupa
campuran amilosa dan amilopektin. Pada jagung ketan, sebagian besar atau
seluruh patinya merupakan amilopektin. Perbedaan ini tidak banyak
berpengaruh pada kandungan gizi, tetapi lebih berarti dalam pengolahan
sebagai bahan pangan (Anonim, 2006c).
Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Jagung
No
|
Zat Gizi
|
Kandungan (Tiap 100 gr bahan)
|
1
|
Energi (cal)
|
129
|
2
|
Protein (gr)
|
4,1
|
3
|
Lemak (gr)
|
1.3
|
4
|
Karbohidrat (gr)
|
30.3
|
5
|
Kalsium (mg)
|
5.0
|
6
|
Fosfor (mg)
|
108.0
|
7
|
Besi (mg)
|
1.1
|
8
|
Vitamin A (SI)
|
117.0
|
9
|
Vitamin B (mg)
|
0.18
|
10
|
Vitamin C (mg)
|
9.0
|
11
|
Air (gr)
|
63.5
|
(Wahyudi, 2005)
- b. Bekatul
Bekatul adalah limbah hasil dari proses penggilingan padi. Menurut Grist (1986) dan Muchtadi, dkk (1995) dalam Ismnz (2006), bekatul merupakan hasil sampingan dari pengolahan padi/gabah yang berasal dari lapisan luar beras pecah kulit yang terdiri dari perikarp, lapisan aleuron, embrio, dan sedikit endosperm.
Bekatul merupakan sumber serat pangan yang juga mengandung protein,
lemak, mineral dan vitamin (Muchtadi, Nienaber dan Susana, 1995
dalam
Ismnz, 2006). Kandungan vitamin yang terdapat pada bekatul antara lain
seperti tiamin, riboflavin dan niasin sedangkan kandungan mineral
yang dimiliki bekatul antara lain, seperti alumunium, kalsium, klor,
besi, magnesium, mangan, fosfor, kalium, silikon, natrium dan seng
(Betty, 2000
dalam Ismnz, 2006).
Dengan pertimbangan ketersediaan yang cukup serta nilai gizi bekatul
yang tinggi, yaitu terdiri atas protein 14 persen, lemak 18 persen,
karbohidrat 36 persen, abu 10 persen, serat kasar 12 persen, serta
berbagai vitamin, hasil samping ini sangat potensial untuk dikembangkan
(Pasopati, 2005).
c. Kulit kakao
Berdasarkan analisis kimia, limbah kakao mengandung zat-zat makanan yang dapat dimanfaatkan untuk pakan. Menurut Zainuddin
et al. (1995)
kulit buah kakao mengandung 16,5 persen protein, 16,5 MJ/Kj kalori dan
9,8 persen lemak. Penggunaan pada ayam pedaging hingga 5 persen tidak
berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan, sedangkan penggunaan di atas level tersebut dapat
menyebabkan menurunnya pertumbuhan karena adanya zat-zat penghambat
pencernaan seperti tanin atau asam phitat yang berpengaruh terhadap
penyerapan zat-zat makan-
an (Zainuddin
et al.,1995). Melalui proses fer-mentasi dengan
Aspergillus niger, kandungan protein kasar kulit buah kakao dapat ditingkatkan dari 15 persen menjadi 19-20 persen (Kompiang, 2000).
Kulit buah kakao (shel fod husk) adalah merupakan limbah agroindustri yang
dihasilkan tanaman kakao (Theobroma cacao L.) Buah coklat yang
terdiri dari 74 % kulit buah, 2 % plasenta dan 24 % biji. Hasil analisa
proksimat mengandung 22 % protein dan 3-9 % lemak (Nasrullah dan A.
Ella, 1993). Pakar lain menyatakan kulit buah kakao kandungan gizinya
terdiri dari bahan kering (BK) 88 % protein kasar (PK) 8 %, serat kasar
(SK) 40,1 % dan TDN 50,8 % dan penggunaannya oleh ternak ruminansia
30-40 % dilaporkan oleh Anonimus (2001). Dari hasil penelitian yang
dilakukan pada ternak domba, bahwa penggunaan kulit buah kakao dapat
digunakan sebagai substitusi suplemen sebanyak 15 % atau 5 % dari
ransum. Sebaiknya sebelum digunakan sebagai pakan ternak, limbah kulit
buah kakao perlu difermentasikan terlebih dahulu untuk menurunkan kadar
lignin yang sulit dicerna oleh hewan dan untuk meningkatkan kadar
protein dari 6-8 % menjadi 12-15 %. Pemberian kulit buah kakao yang
telah diproses pada ternak sapi dapat meningkatkan berat badan sapi
sebesar 0,9 kg/ hari.
Kandungan nutrisi limbah (kulit buah) kakao menurut Guntoro dan Yasa (2002)
Tabel. 2 Kandungan Nutrisi Limbah Kulit Kakao
Perlakuan limbah |
Kandungan nutrisi |
|
Protein kasar |
Serat kasar |
Lemak |
Kalsium |
Fosfor |
|
|
Non-Fermentasi |
10,88 |
7,10 |
2,11 |
0,10 |
0,05 |
|
Fermentasi konvensional |
12,12 |
6,42 |
2,02 |
0,11 |
0,08 |
|
Fermentasi dengan |
17,12 |
4,15 |
2,08 |
0,11 |
0,08 |
|
Aspergillus niger |
|
2.6. Fase Pertumbuhan Jamur
Gandjar dan Sjamsuridzal (2006) menyatakan bahwa
setiap organisme, termasuk jamur mempunyai kurva pertumbuhan, begitu
pula fungi. Kurva tersebut diperoleh dari menghitung massa sel dalam
waktu tertentu. Kurva pertumbuhan mempunyai beberapa fase antara lain :
- Fase lag, yaitu fase penyesuaian sel-sel dengan lingkungan dan pembentukan enzim-enzim untuk mengurai substrat.
- Fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah dan fase lag menjadi fase aktif.
- Fase eksponensial, merupakan fase perbanyakan jumlah sel yang
sangat banyak, aktifitas sel sangat meningkat, dan fase ini
merupakan fase yang penting dalam kehidupan fungi.
- Fase deselerasi (Moore-landecker, 1996), yaitu fase dimana sel-sel kurang aktif membelah.
- Fase stasioner, yaitu fase dimana jumlah sel yang bertambah dan
jumlah sel yang mati relatif seimbang. Kurva pada fase ini
merupakan garis lurus yang horizontal.
- Fase kematian dipercepat, jumlah sel-sel yang mati atau tidak aktif lebih banyak daripada sel-sel yang masih hidup.
Kurva pertumbuhan fungi dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 4. Kurva pertumbuhan fung
Keterangan :
(1) fase lag; (2) fase akselerasi; (3) fase eksponensial ; (4) fase
deselerasi ; (5) fase stasioner ; (6) fase kematian dipercepat
III. CARA KERJA DAN PELAKSANAAN
3.1.Metode Penelitian
Hasil kegiatan dianalisa dengan menggunakan rancangan acak lengkap pada:
a. Jamur
Metarhizium anisopliae menggunakan 4 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu :
A = pelakuan dengan media jagung (kontrol)
B = perlakuan dengan media bekatul
C = perlakuan dengan media jagung : bekatul = 1 : 1
D = perlakuan dengan media jagung : bekatul = 1 : 2
b. Jamur
Beauveria bassiana menggunakan 8 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu :
A = perlakuan dengan media jagung (kontrol)
B = perlakuan dengan media bekatul
C = perlakuan dengan media kulit kopi
D = perlakuan dengan media kulit kakao
E = perlakuan dengan media jagung : bekatul = 1 : 1
F = perlakuan dengan media jagung : bekatul = 1 : 2
G = perlakuan dengan media kulit kopi : kulit kakao = 1 : 1
H = perlakuan dengan media kulit kopi : kulit kakao = 1 : 2
3.2. Bahan dan alat
- Bahan
Bahan yang digunakan untuk mendukung kegiatan ini antara lain biakan murni jamur
Beauveria bassiana,
Metarhizium anisopliae, jagung, bekatul, kulit kopi, kulit kakao, aquades.
- Alat
Alat yang digunakan kompor, dandang, autoclaf, entkas, plastik tahan panas berukuran 10 x 20 cm , haemacytometer, sprayer.
3.3.Cara Kerja
1. Persiapan Kegiatan
a. Pembuatan Media
Media yang digunakan ada 6 macam media dengan cara pembuatan sebagai berikut
- Media jagung
Jagung giling dicuci bersih kemudian jagung ditanak sampai setengah
matang, kemudian dinginkan. Jagung giling tersebut kemudian ditiriskan
dan dimasukkan ke dalam plastik tahan panas berukuran 10 x 20 cm hingga
mencapai 1/3 bagian. Medium siap untuk disterilkan di autoklaf pada suhu
1200C dengan tekanan 1,5 atm selama 60 menit. Setelah medium dingin, medium siap untuk diinokulasi.
- Media bekatul
Bekatul dibasahi dengan air hangat hingga agak lembab. Kemudian
dimasukkan ke dalam plastik tahan panas berukuran 10 x 20 cm hingga
mencapai 1/3 bagian. Medium siap untuk disterilkan di autoklaf pada suhu
120
0C dengan tekanan 1,5 atm selama 60 menit. Setelah medium dingin, medium siap untuk diinokulasi.
- Media jagung dan bekatul
Jagung dikukus setengah matang, kemudian didinginkan. Bekatul
dibasahi hingga agak lembab, kemudian dicampur dengan jagung yang telah
dingin, sesuai dengan perbandingan yang telah ditetapkan. Media yang
sudah dingin dikemas kedalam kantong plastik berukuran 10 x 20 cm,
plastik tersebut diisi 1/3 bagian. Medium siap untuk disterilkan di
autoklaf pada suhu 120
0C dengan tekanan 1,5 atm selama 60 menit. Setelah medium dingin, medium siap untuk diinokulasi.
- Media kulit kopi
Kulit kopi yang telah hancur dibasahi dengan air menggunakan sprayer
hingga agak lembab. Kemudian media dikemas kedalam kantong plastik
berukuran 10 x 20 cm, plastik tersebut diisi 1/3 bagian. Medium siap
untuk disterilkan di autoklaf pada suhu 120
0C dengan tekanan 1,5 atm selama 60 menit. Setelah medium dingin, medium siap untuk diinokulasi.
- Media kulit kakao
Kulit kakao yang telah dipecah dan dihilangkan bijinya dicuci bersih
kemudian dipotong-potong dan diiris tipis-tipis untuk mempercepat proses
pengeringan kulit kakao. Irisan-irisan kulit kakao tersebut lalu
dijemur hingga benar-benar kering. Setelah itu kulit kakao dibasahi
dengan air menggunakan sprayer hingga agak lembab.Kemudian dimasukkan ke
dalam plastik tahan panas berukuran 10 x 20 cm hingga 1/3 bagian.
Medium siap untuk disterilkan di autoklaf pada suhu 120
0C dengan tekanan 1,5 atm selama 30 menit. Setelah medium dingin, medium siap untuk diinokulasi.
- Media kulit kopi dan kulit kakao
Kulit kopi yang telah siap dicampur dengan kulit kakao sesuai dengan
perbandingan yang ditentukan. Kemudian dimasukkan ke dalam plastik
tahan panas berukuran 10 x 20 cm hingga 1/3 bagian. Medium siap untuk
disterilkan di autoklaf pada suhu 120
0C dengan tekanan 1,5 atm selama 30 menit. Setelah medium dingin, medium siap untuk diinokulasi.
Setiap media sebelum disterilisasi ditimbang dahulu baik berat
sebelum dimasak atau dibasahi dengan air (berat kering) dan berat
setelah dimasak atau dibasahi dengan air (berat basah) untuk menghitung
kadar air masing-masing media.
Kadar air (%) =
- 2. Pengamatan
Dari masing-masing media diamati pertumbuhannya, kemudian dihitung
jumlah spora serta viabilitas sporanya. Perhitungan jumlah spora dan
viabilitas spora dihitung tiap minggunya selama 1 bulan.
a. Perhitungan jumlah spora
1 Teteskan larutan agensia hayati yang akan dicek virulensinya diatas haemacytometer dan letakkan cover glass diatasnya.
2 Tekan cover glass pelan-pelan dan biarkan sampai 5 menit agar larutan tenang.
3 Hitunglah spora pada kotak 1 dan kotak 2, kemudian dirata-rata.
Gambar 5. STANDAR HAEMACYTOMETER NAUBAUER
Gambar 6. Bidang Pandang Hitung Haemacytometer tipe Improve Nauber
a. Untuk spora besar
Misal :
Metarhizium anisopliae
|
|
Rata-rata = Total A+B+C+D+E
5
Jumlah spora = Rata-rata x Constante
= Rata-rata x 10.000 spora/ml |
|
Gambar 7. Ketentuan Posisi Spora yang masuk dalam kotak perhitungan
b. Untuk spora kecil
Misal :
Beauveria bassiana
|
|
Rata-rata = Total a+b+c+d+e
5
Jumlah spora = Rata-rata x Constante
= Rata-rata x 250.000 spora/ml. |
|
c. Untuk spora sedang
|
|
Rata-rata = Total f+g+h+I+j
5
Jumlah spora = Rata-rata x Constante
= Rata-rata x 200.000 spora/ml. |
|
b. Perhitungan Viabilitas Spora
1 Untuk mengetahui viabilitas spora umur biakan yang digunakan
berkisar 10 – 12 hari. Idealnya viabilitas yang bagus adalah 100%.
Namun apabila semakin lama disimpan, viabilitas akan menurun . Media
yang bagus dapat bertahan sampai 2 tahun.
2 Ambil spora pada biakan yang sudah disiapkan, dan pindahkan
dengan jarum ose dan lakukan pengenceran berseri. Apabila perlu masukkan
sedikit detergent dengan menggunakan ujung ose dan goyangkan.
3 Inkubasikan selama 18-24 jam.
4 Tambahkan setetes lactofenol/cotton blue diatas permukaan media pada masing-masing petri.
5 Letakkan beberapa cover glass diatas permukaan media pada masing-masing petri.
6 Amati dibawah mikroskop dengan tutup petri terbuka dengan perbesaran 100x.
7 Hitung minimum 200 spora, lebih banyak akan lebih representatif.
8 Yang dihitung adalah spora yang berkecambah dengan diameter ³ 2 x diameter spora.
9 Setiap konsentrasi dilakukan 3 kali ulangan.
10 % perkecambahan = spora berkecambah x 100 %
spora tidak berkecambah
Perhitungan viabilitas spora menggunakan rumus :
- Ambil 3 kultur media dalam petridish dan tambahkan diatasnya 0,1 ml hasil pengenceran. Kemudian diratakan.
Gambar 8. Proses pengenceran bertingkat
Jamur |
Perlakuan |
|
Jumlah spora (gr/ml) |
Viabilitas (%) |
Pengamatan ke- |
Pengamatan ke- |
I |
II |
III |
IV |
I |
II |
III |
IV |
Beauveria bassiana |
Jagung |
|
259,722,2 |
- |
9,225,000 |
10,350,000 |
0 |
- |
0 |
0 |
|
Bekatul |
|
0 |
- |
4,675,000 |
Kontaminasi |
0 |
- |
0 |
0 |
|
J1B1 |
|
125,000 |
- |
6,000,000 |
Kontaminasi |
0 |
- |
0 |
0 |
|
J1B2 |
|
1,058,333 |
- |
Kontaminasi |
0 |
- |
0 |
0 |
|
Kakao |
|
Kontaminasi |
0 |
- |
0 |
0 |
|
Kopi |
|
Kontaminasi |
0 |
- |
0 |
0 |
|
Ko1Ka1 |
|
Kontaminasi |
0 |
- |
0 |
0 |
|
Ko1Ka2 |
|
Kontaminasi |
0 |
- |
0 |
0 |
Metarhizium anisopliae |
Jagung |
|
411,000 |
- |
1,389,000 |
6,288,000 |
0 |
- |
0 |
0 |
|
Bekatul |
|
24,000 |
- |
Kontaminasi |
0 |
- |
0 |
0 |
|
J1B1 |
|
Kontaminasi |
0 |
- |
0 |
0 |
|
J1B2 |
|
68,000 |
- |
Kontaminasi |
0 |
- |
0 |
0 |
- IV. Hasil dan Pembahasan
Tabel 3. Jumlah Spora dan Viabilitas
Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa perlakuan dengan media
jagung menghasilkan rata-rata jumlah spora tertinggi pada jamur
Beauveria maupun
Metarhizium.
Hal tersebut karena
kandungan nutrisi jagung lebih tinggi dibandingkan
dengan bekatul, kulit kopi maupun kulit kakao. Dengan kandungan
karbohidrat sebesar 30.3 % per 100 gram dan protein 4,1 % mampu
memberikan suplai energi sebesar 109 %. Dengan kandungan nutrsi
tersebut jagung sangat cocok digunakan sebagai media perbanyakan jamur.
Namun nilai ekonomis jagung yang cukup tinggi. Salah satunya digunakan
sebagai bahan pangan masyarakat maka perlu dilakukan modifikasi media
tumbuh jamur
Metarhizium dan
Beauveria. Pemanfaatan
bekatul serta beberapa jenis limbah pertanian, kulit kopi dan kulit
kakao diharapkan mampu mengurangi kebutuhan jagung sebagai media tumbuh
jamur. Dari hasil uji media pemanfaatan bekatul, kulit kopi serta
kulit kakao. Ternyata hasil uji belum memuaskan. Hal ini berdasar
hasil penghitungan spora yang telah dilakukan. Setelah proses inkubasi,
media perbanyakan bekatul, kulit kopi dan kulit kakao ditumbuhi
jamur-jamur kontaminan yang sebagian besar dari golongan Aspergillus.
Berdasar hasil perhitungan jumlah spora pada tabel. Jumlah spora tertinggi diperoleh dari jamur
Metarhizium dan
Beauveria bassiana
yang ditumbuhkan pada media jagung giling. Sedangkan pada media
perbanyakan jagung-bekatul, kulit kopi dan kulit kakao mengalami
kontaminasi. Kontaminan yang tumbuh pada media jagung bekatul, kulit
kopi serta kulit kakao diduga berasal dari media yang kurang steril.
Penggunaan bekatul, kulit kopi dan kulit kakao sebagai media tumbuh
tanpa proses pemasakan diduga menjadi penyebab tumbuhnya
kontaminan-kontaminan. Untuk itu perlu dilakukan uji kembali dengan
metode persiapan media yang berbeda. Selain menggunakan metode penyiapan
media yang berbeda, perlu dilakukan pemilihan media alternatif yang
berbeda pula. Hal ini harus didasarkan pada kandungan nutrisi media
yang dipilih. Kulit buah kakao (shel fod husk) adalah merupakan limbah
agroindustri yang dihasilkan tanaman kakao (
Theobroma cacao L.)
Buah coklat yang terdiri dari 74 % kulit buah, 2 % plasenta dan 24 %
biji. Hasil analisa proksimat mengandung 22 % protein dan 3-9 % lemak
(Nasrullah dan A. Ella, 1993). Kulit buah kakao kandungan gizinya
terdiri dari bahan kering (BK) 88 % protein kasar (PK) 8 %, serat kasar
(SK) 40,1 % dan TDN 50,8 % dan penggunaannya oleh ternak ruminansia
30-40 %. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada ternak domba, bahwa
penggunaan kulit buah kakao dapat digunakan sebagai substitusi suplemen
sebanyak 15 % atau 5 % dari ransum. Sebaiknya sebelum digunakan sebagai
pakan ternak, limbah kulit buah kakao perlu difermentasikan terlebih
dahulu untuk menurunkan kadar lignin yang sulit dicerna oleh hewan dan
untuk meningkatkan kadar protein dari 6-8 % menjadi 12-15 %. Pemberian
kulit buah kakao yang telah diproses pada ternak sapi dapat meningkatkan
berat badan sapi sebesar 0,9 kg/ hari.
Berdasar informasi tersebut dapat diketahui bahwa kulit kakao kurang cocok dimanfaatkan sebagai media alternatif jamur
Metarhizium dan
Beauveria.
Dengan kandungan lignin yang tinggi pada kulit kakao dapat menghambat
proses penyerapan nutrisi. Beberapa jamur yang hanya dapat tumbuh pada
kulit kakao adalah dari golongan
Aspergillus. Jamur
Aspergillus, terutama dari spesies
niger biasa
dimanfaatkan untuk menurunkan kadar lignin pada kulit kakao yang akan
dimanfaatkan sebagai pakan ternak Dengan demikian kulit kakao kurang
tepat digunakan sebagai media tumbuh jamur
Metarhizium dan
Beauveria. Hal ini didasarkan pada kandungan lignin pada kulit kakao yang menyebabkan jamur
Metarhizium dan
Beauveria mengalami kesulitan mendegradasi nutrisi pada kulit kakao. Sehingga pemanfaatan kulit kakao sebagai media perbanyakan jamur
Metarhizium dan
Beauveria bassiana perlu proses penurunan kadar lignin terlebih dahulu.
Lain halnya dengan media bekatul, bekatul adalah limbah hasil dari proses penggilingan padi. Menurut Grist (1986) dan Muchtadi, dkk (1995) dalam Ismnz (2006), bekatul merupakan hasil sampingan dari pengolahan padi/gabah yang berasal dari lapisan luar beras pecah kulit yang terdiri dari perikarp, lapisan aleuron, embrio, dan sedikit endosperm.
Bekatul merupakan sumber serat pangan yang juga mengandung protein,
lemak, mineral dan vitamin (Muchtadi, Nienaber dan Susana, 1995
dalam
Ismnz, 2006). Kandungan vitamin yang terdapat pada bekatul antara lain
seperti tiamin, riboflavin dan niasin sedangkan kandungan mineral
yang dimiliki bekatul antara lain, seperti alumunium, kalsium, klor,
besi, magnesium, mangan, fosfor, kalium, silikon, natrium dan seng
(Betty, 2000
dalam Ismnz, 2006).
Dengan pertimbangan ketersediaan yang cukup serta nilai gizi bekatul
yang tinggi, yaitu terdiri atas protein 14 persen, lemak 18 persen,
karbohidrat 36 persen, abu 10 persen, serat kasar 12 persen, serta
berbagai vitamin, hasil samping ini sangat potensial untuk dikembangkan
(Pasopati, 2005). Dengan kandungan nutrisi yang cukup tinggi tersebut
bekatul layak untuk dignakan sebagai media tumbuh jamur. Tetapi hasil
uji yang telah dilakukan ternyata media bekatul maupun jagung yang
dicampur dengan bekatul mengalami kontaminasi yang cukup tinggi.
Kontaminan yang terbesar adalah dari golongan
Aspergillus.
Kontaminasi yang cukup besar dari media bekatul diduga kerena media
bekatul tidak melalui proses pemasakan. Dari metode yang dilakukan
media bekatul hanya disterilisasi. Untuk itu pada uji selanjutnya perlu
adanya perubahan metode persiapan media bekatul.
Pada uji media ini viabilitas spora jamur
Metarhizium dan
Beauveria bassiana
bernilai nol. Nilai tersebut terdapat di semua media uji. Media yang
digunakan untuk menguji viabilitas adalah PDA (Potato Dekstrose Agar)
datar dengan metode standar BPTP. Dengan kejadian tersebut maka perlu
dilakukan analisa metode uji viabilitas dengan pertimbangan pengembangan
metode yang sudah ada baik dari segi media yang digunakan maupun
langkah-langkah metodologinya.
Dengan hasil tersebut maka Uji Media Perbanyakan Massal Jamur
Entomopathogen perlu dilakukan kembali pada tahun berikutnya dengan
menggunakan metode yang berbeda.
- V. Penutup
5.1. Kesimpulan
- Jagung masih merupakan media perbanyakan yang terbaik bagi pertumbuhan jamur Metarhizium dan Beauveria bassiana. Berdasarkan
uji yang telah dilakukan, kualitas jamur dipandang dari jumlah spora,
media jagung menghasilkan pertumbuhan jumlah spora yang lebih baik
dibanding dengan media bekatul, kulit kopi dan kulit kakao.
- Kulit kakao dan kulit kopi kurang cocok dikembangkan sebagai media perbanyakan massal alternatif untuk jamur Metarhizium dan Beauveria bassiana.
- Penggunaan bekatul sebagai media perbanyakan memerlukan proses pemasakan terlebih dahulu sebelum digunakan.
5.2. Saran
- Metodologi persiapan media perlu perbaikan karena beberapa hasil uji banyak mengalami kontaminasi.
- Pemilihan media alternatif harus mempertimbangkan jumlah nurtisi
yang dibutuhkan oleh jamur yang terkandung dalam media tersebut.